Al-Quran  secara etimologis berasal dari kata qara’a - yaqra’u, qira’atan, qur’anan.  Para ulama mendefinisikan kata qar’a dengan menghimpun atau mengum­pulkan. Nasir Hamid tidak sepakat dengan makna mengumpulkan karena turunnya al-Qur’an di tengah masyarakat yang berulang-ulang menggunakan tradisi lisan. Ia cenderung memaknai kata qaraa dengan mengulang-ulang.
Pendapat Nasir ini logis bila dipahami dari sisi penyampaian wahyu ya­ng berulang kepada Nabi bah­kan dari segi isinya pun kerap kali berulang. Misalnya al-Qur’an berulangkali me­ngung­kap  kisah Nabi dengan te­ma yang sama dalam beberapa surat. Surat al-Fatihah bagian dari al-Qur’an juga disebut dengan tujuh yang berulang-ulang karena kandungannya banyak tersebar pada batang tubuh -ayat al-Qur’an

Al-Qur’an memang pedoman hi­dup umat manusia yang meng­gambarkan realitas yang selalu berulang.  Nabi SAW sen­­diri sebagai penerima wahyu ada­lah mahluk realitas yang selalu berulang melakukan aktivitas sosial dan menyaksikan peristiwa baik dan buruknya kehidupan. Oleh karena itu Allah sebagai Zat Yang Maha Suci merindukan realitas ke­baikan sehingga perlu mengutus Nabi (mahluk realitas) yang bertugas melakukan perbaikan dan mewujudkan tatanan rea­litas yang berkeadaban. Al-Qur’an sebagai pedoman yang ber­hadapan dengan realitas berulang akan menyesuaikan isi dan pesannya dengan struk­tur pemahaman dan kebudayaan (peradaban) realitas itu sendiri.

Pesan al-Qur’an  itu dimak­sudkan agar dapat dipahami oleh tingkatan-tingkatann ma­nusia sesuai dengan batas-batas realitas yang dihadapinya.  Nabi Muhammad SAW orag pertama yang mendapat mandat/otoritas untuk menjelaskan pesan al-Qur’an sangat dibatasi oleh rea­litas di mana ia lahir dan bermukim. Ulama sebagai pelanjut tafsir mendapat batasan konteksi yang sama sebagaimana generasi umat berikutnya akan memahami al-Qur’an sejalan dengan realitasnya. Inilah yang dimaksud dengan Ibnu Qayyem al-Jawziyyah bahwa syari’at Islam merupakan syari’at yang tepat dengan perkembangan zaman.

Ketepatan al-Qur’an dengan perkembangan zaman ditandai oleh kesediaannya untuk ditafsir. Ke­butuhan al-Qur’an pada tafsir sangat erat dengan seluruh kan­dungannya yang diberikan buat umat manusia. Semua kandungan al-Qur’an baik yang berbentuk postulat, yang nor­matif, kongkret dan yang ab­strak disediakan buat kepentingan manusia. Ajaran tentang yang ghaib seperti Allah, malaikat, akherat, surga, neraka, jin dan setan semuanya dijelaskan untuk kepentingan manusia. Apalagi ajaran kongkret yang berkaitan dengan aspek kehi­dupan di dunia. Keseluruhannya bukan untuk Allah tetapi untuk umat manusia mencapai keja­ya­aannya sebagai ciptaan Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada  yang namanya Qur’an Allah yang ada Qur’an untuk manusia. Tidak ada hukum Allah yang ada adalah hukum untuk manusia ( Q.S. 17 :9).

Keleluasan al-Qur’an ini meru­pakan hikmah dari Allah untuk mengundang para pemikir (penafsir) agar tidak takut menafsirkan (memahami) al-Qur’an dari berbagai disiplin ilmu dengan metode yang baik dan benar. Para mufassir diper­kenankan memahami teks al-Qur’an apa adanya sebagaimana teks manusawi bukan teks untuk Allah. Pemahaman seperti ini akan membawa nuansa baru dalam kajian al-Qur’an untuk mendapatkan rahasia dan segala dimensi keilmuan  yang ter­kandung dalam al-Qur’an.  Bu­kan cara pemahaman seperti yang ditawarkan Imam Humaeni  agar para mufasir terlebih da­hulu  mampu memahami mak­­na batin al-Qur’an. Tawaran Humaeni ini untuk tahapan pe­ngembangan keilmuan sulit dilakukan sampai kapan sese­orang telah dipandang mema­hami batin al-Qur’an. Apakah orang harus bertahun-tahun bersemedi mencari wangsit Tuhan sebelum menafsir al-Qur’an. Stelah itu ia diklaim se­bagai manusia sakral  yang satu-satunya mendapat mandat paling istimewa untuk mema­hami al-Qur’an. Cara ini justru akan semakin menambah kesu­litan ketika adanya problem baru yang menuntut pemecahan cepat tidak dapat dilakukan karena harus menunggu keda­tangan ulama yang sedang bertapa.

Pertanyaan berikutnya adakah ulama bertapa yang suci itu akan semakin membawa per­soalan pelik mengingat umatnya tidak bisa mendapat pencerahan   sang ulama yang telah terbingkai oleh lilitan feodalisme ke­agamaan. Di zaman Nabi saja hi­ngga para sahabat tak akan pernah dijumpai ulama tafsir yang menggendong jangkar feodalisme dalam soal tugas menalar al-Qur’an. Tengok saja seperti  mufasir besar Ibnu Mas’ud, Ibu Abas dan Ibnu-Ibnu lainnya dalam jumlah ber­lapis-lapis mereka lebih elegan di tengah perwatakan egaliterianismenya dengan umat. Ada banyak ulama yang memberi kualifikasi kemudahan untuk menafsir al-Qur’an. Al-Ghozali cukup mensaratkan dengan menguasai lima ratus ayat-ayat bidang  hukum. Yusuf Qardawi ulama  modern yang paling produktif pun berobsesi bahwa di zaman realitas aneka teknologi yang serba canggih ini, tidak ada kesulitan bagi para ulama untuk berijtihad—memaham al-Qur’an.

Tawaran ulama realitas ini logis karena di abad baru ini kita tidak akan menolak aneka rupa pemahaman al-Qur’an. Ke­munculan gagasan baru untuk melawan misteri al-Qur’an dengan aneka bentuk metodologi sah-sah saja. Apakah kita akan menghindar dari ta­hapan alamiah sunatullahnya berpikir dari gaya nalar moder­nisme, neo modernisme, post­modernisme hingga sampai de­konstruksismenya ala derida Foucult. Tentu saja kita tidak boleh memerahkan jagat muka kita terhadap lahirnya metode ini. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kearifan meto­dologi nalar dengan mem­biarkan Mua’z bin Jabal ber­dialektika dengan realitas baru (ijtihad)  di kota yaman  ketika di sana akan menghadapi per­soalan baru yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan Hadis.    
Tafsir sebagai ilmu yang men­jelaskan dan memahami kan­dungan al-Qur’an dengan meng­gunakan metode keilmuan al-Qur’an tidak akan berhenti dalam sebuah metoda yang status quo. Dalam sejarahnya selalu berkembang dari satu metode ke metode hingga  me­ne­mukan aneka macam metode ke­ilmuan al-Qur’an yang baru. Pada mulanya metode tafsir diajarkan melalui dialog face to face antara Nabi dan para sa­habatnya. Sepeninggal Nabi untuk menyatukan umat Islam atas inisiatif Usman, Al-Qur’an menjadi bentuk mushaf. Di zaman Khalifah Ali muncul ilmu I’rab al-Qura’n yang mele­takkan kaedah Nahwu dan cara pengucapan Al-Qur’an secara  baku dan tepat dengan tokohnya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Per­kem­bangan selanjutnya pada abad 3 H , lahir Ilmu Asbab An-Nuzul yang menafsirkan ber­dasarkan latar belakang dan konteks peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an dengan tokohnya Ali bin Al-Madany.

Zaman terus bergulir ke­inginan umat untuk meng­ung­kap misteri kandungan al-Qura’n agar berdialog dengan realitas lebih banyak lagi sehingga pada saat itu muncul ilmu yang me­ng­ungkap keajaiban al-Qur’an (ajaib al-Qur’an), ilmu yang me­ng­ungkap kesamaran  al-Qur’an (Mubhamat al-Qur’an),  il­mu yang mengungkap kata yang sukar dipahami (musykil al-Qur’an),  ilmu revisi ayat al-Qur’an berdasarkan  konteks realitas  yang telah berubah (na­sikh mansukh) dan lain-lain. Kemunculan ilmu baru me­ngenai kajian al-Qur’an  sangat di­sadari  para ulama di zaman itu sebagai reaksi  terhadap per­kembangan zaman dan rea­litas yang sangat niscaya se­hi­ngga tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu penolakan  il­mu-ilmu baru mengenai al-Qur’an di zaman modern ini  merupakan sikap pengingkaran terhadap realitas sejarah

Bertolak dari sejarah tersebut, maka kemunculan ilmu baru mengenai kajian (tafsir) al-Qur’an yang digagas oleh tokoh-to­koh kontemporer separti an­tara lain Amin al-Khulli ( kri­tik sastra al-Qur’an), Nasir Hamid (kajian hermeunitik  di­balik empirik  al-Qur’an se­bagai produk budaya), Abid al-Jabiri (perumusan kaidah baru pembentukan hukum Islam), Arkoun ( mengadopsi mak­na kalam Tuhan ke dalam realitas yang belum dan tak terpikirkan), Hasan Hanafi (pembentukan turas baru Islam),  Muhammad Shahrur dengan teori barunya Nazariyat al-Hudud (teori batas bawah dan batas atas), dan masih ba­nyak yang lain seperti tokoh yang termuda Talat Hasan, se­muanya merupakan pemikir baru yang tidak boleh dinapikan karena telah turut mempersegar pemahaman al-Qur’an  dalam upaya memecahkan problem kemanusian. Pemikiran baru seperti inilah sangat layak kita kembangkan karena telah meletakkan al-Qur’an sebagai teks manusiawi.

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten